a.
Faktor
– faktor penyebab penebangan liar (illegal
logging)
Praktek
penebangan liar (illegal logging)
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu : (1) penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh
pihak – pihak yang tidak mempunyai izin yang kebanyakan dilakukan oleh
masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual kepada penadah hutan, dan (2)
penebangan liar (illegal logging) yang
dilakukan oleh pihak – pihak yang mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan
usahanya itu cenderung merusak hutan seperti melakukan penebangan di luar
konsesinya (over cuting), melanggar
persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam konsensinya, kolusi dengan
penjabat atau aparat, pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan.
Menurut
Haba, bahwa pandangan tentang faktor penyebab terjadinya penebangan liar (illegal logging) ini pun bervariasi
tergantung pendekatan yang digunakan masing – masing pihak, Penebangan liar (illegal logging) berkaitan dengan
meningkatnya kebutuhan kayu di Pasar Internasional, besarnya kapasitas
terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakkan
hukum, tumpang tindih regulasi dan pemutihan kayu yang terjadi di luar daerah
tebangan.
Dari
pandangan yang dikemukakan oleh Haba tersebut, nampak persamaan yang selalu ada
dalam setiap pandangan para ahli lainnya yaitu memandang bahwa kasus penebangan
liar (illegal logging) merupakan
suatu proses dalam kegiatan ekonomi sehingga faktor ekonomi sebagai faktor
utama yang menjadi penyebab dari penebangan liar (illegal logging).
Faktor
– faktor terjadinya penebangan liar (illegal
logging) antara lain :[1]
a. Faktor
– faktor yang berkaitan dengan nilai – nilai masyarakat dan situasi penduduk di
desa – desa dekat hutan dipengaruhi unsur – unsur :
1. Kebutuhan
lapangan kerja dan pendapatan
2. Pengaruh
tenaga kerja lain yang sudah bekerja secara illegal
3. Ketidakpuasaan
lokal atas kebijakan kehutanan pusat
4. Dukungan
terhadap pengelolaan hutan lestari
b. Faktor
– faktor ekonomi yang suplai dan permintaan normal berkaitan dengan industri
penebangan kayu dipengaruhi oleh unsur – unsur :
1. Kebutuhan
kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri dan permintaan kayu dari luar
negeri
2. Kemampuan
pasokan kayu dan kebijakan jatah kayu tebangan tinggi rendahnya laba dari
perusahaan industri kayu
3. Tinggi
rendahnya laba dari perusahaan industri kayu
c. Faktor
– faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya pada, serta kolusi
dengan, para politisi dan pemimpin setempat di pengaruhi oleh unsur – unsur
seperti :
1. Keuntungan
yang diperoleh oleh pengusaha kayu
2. Besarnya
pengaruh pengusaha kayu dan bos – bos penebangan tehadap penjabat lokal
3. Besarnya
partisipasi penjabat lokal dalam kegiatan penebangan (illegal logging)
4. Banyaknya
kerja sama illegal yang dilakukan oleh pengusaha dengan penguasa atau penjabat lokal
b.
Pemidanaan
terhadap Pelaku Tindak Pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) menurut UU No. 41 / 1999 Tentang Kehutanan
1)
Ketentuan
– ketentuan pidana menurut UU No. 41 / 1999 Tentang Kehutanan
Ketentuan
pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.
41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka
mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian
sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang
kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di
bidang kehutanan (penjelasan umum paragraph ke – 18 UU No. 41 / 1999). Efek
jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana
kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang
kehutanan menjadi berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum
karena sanksi pidannya berat.
Ada
3 (tiga) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999 yaitu pidana
penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk
melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada
pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat di lihat dalam rumusan
sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999. Jenis pidana itu
merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan
sebagaimana yang di atur dalam Pasa 50 UU No. 41 / 1999 tentang Kehutanan.
Ketentuan
pada Pasal 50 menyatakan bahwa, “Setiap orang dilarang merusak prasarana dan
sarana perlindungan hutan (ayat (1)) dan Setiap orang yang diberikan izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan (ayat (2))”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (1)
menyatakan bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”.
Penjelasan
Pasal 50 ayat (1) yang di maksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang
pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan misalnya
pagar – pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan
pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda
larangan, dan alat angkut. Sedangkan penjelasan pada Pasal 50 ayat (2) yang di
maksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik atau hayatinya
yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai
dengan fungsinya.
Ketentuan pada Pasal 50 ayat (3) huruf c menyatakan
bahwa, “Setiap orang di larang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
dengan radius atau jarak sampai
dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk
atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air
dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi
sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan
tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi
jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih
pasang tertinggi dan pasang terendah dari
tepi pantai.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,. (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (1), (2) dan ayat (3))
tersebut jika dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya sesuai dengan ancaman pidana masing –
masing di tambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 78
ayat(4)). Yang dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam pasal
tersebut antara lain Perseroan Terbatas (PT), perseroan komanditer (commanditer vennotschaap - CV), firma,
koperasi, dan sejenisnya (penjelasan Pasal 78 ayat (14)).
Ketentuan
pada Pasal 50 ayat (3) huruf e menyatakan bahwa, “Setiap orang di larang untuk menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak
atau izin dari pejabat yang berwenang”.
Ketentuan
pada Pasal 50 ayat (3) huruf f ymenyatakan
bahwa, “menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (5) menyatakan
bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf e, yang
di maksud dengan penjabat yang berwenang adalah penjabat pusat dan
daerah yang diberi wewenang oleh undang – undang untuk memberi izin, sedangkan
penjelasan pada Pasal 50 ayat (3) huruf f, cukup jelas. Pelanggaran pada
ketentuan Pasal 50 ayat (3)
huruf e dan f, di ancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,. (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat
(4)).
Pada
ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h menyatakan
bahwa, “mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersama - sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (7) menyatakan
bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h yang
dimaksud dengan “dilengkapi bersama – sama” adalah bahwa setiap pengangkutan,
penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus
disertai dan dilengkapi surat – surat yang sah sebagai bukti. Apabila ada
perbedaan antara isi keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan
keadaan isi keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan keadaan fisik
baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan
tidak mempunyai surat – surat sah sebagai bukti.
Ketentuan
Pasal 50 ayat (3) huruf j menyatakan bahwa, “membawa alat-alat berat dan atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil
hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (9) menyatakan
bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50
ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf j yang
di maksud dengan alat – alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa
traktor, bulldozer, truck trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helicopter,
jeep, tugboat, dan kapal.
Pada
ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf k menyatakan
bahwa,”membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah
pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (10)
menyatakan bahwa,”Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat
(3) huruf k, tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa
alat – alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai
dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
Ketentuan pada Pasal 78 ayat (15) menyatakan
bahwa,
“Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan
pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk
melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
dirampas untuk Negara”.
Dalam penjelasannya disebutkan benda yang
termasuk alat –alat angkut antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, pontoon,
tugboat, perahu layar, helicopter, dan lain – lain.
Berdasarkan uraian tentang rumusan
ketentuan pidana dan sanksinya yang di atur oleh UU No. 41 / 1999 tersebut di
atas, maka dapat ditemukan unsur – unsur yang dapat dijadikan dasar hukum
penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penebangan liar (illegal logging) yaitu :
1.
Merusak prasarana dan sarana
perlindungan hukum
2.
Kegiatan yang keluar dari ketentuan –
ketentuan perizinan sehingga merusak hutan
3.
Melanggar batas – batas tepi sungai,
jurang dan pantai yang ditentukan undang – undang
4.
Menebang pohon tanpa izin
5.
Menerima, membeli, atau menjual,
menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang
diketahui atau patut di duga sebagai hasil hutan illegal
6.
Mengangkut, menguasai atau memiliki
hasil hutan tanpa SKSHH
7.
Membawa alat – alat berat dan alat –
alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
[1] Sukardi, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus
Papua), (Yogyakarta : Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2005), halaman 81 – 91.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar