Senin, 01 Agustus 2016
PASAL-PASAL PELANGGARAN LALU LINTAS
Berikut Beberapa Pasal Dalam Pelanggaran Lalu Lintas :
Pasal 280 = kendaraan tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor
(TNKB), klo kita sering bilang plat nomor; Sanksi Pidana Kurungan Paling
Lama 2 (dua) bulan atau denda Paling Banyak Rp. 500.000,- (lima ratus
ribu rupiah)
Pasal 281 = tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) ; Sanksi Pidana
Kurungan Paling Lama 4 (empat) bulan atau denda Paling Banyak Rp.
1.000.000,- (satu juta rupiah)
Pasal 282 = tidak mematuhi perintah yang diberikan oleh petugas
Kepolisian; Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 1 (satu) bulan atau denda
Paling Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
Pasal 283 = mengemudi secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain
atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan
konsentrasi ; Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 3 (tiga) bulan atau
denda Paling Banyak 750.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah)
Pasal 284 = tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda;
Pidana Kurungan Paling Lama 2 (dua) bulan atau denda Paling Banyak Rp.
500.000,- (lima ratus ribu rupiah)
Pasal 285 = kendaraan tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan
(kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat
pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot dan kedalaman alur
ban; Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 1 (satu) bulan atau denda
Paling Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
Pasal 287 = melanggar rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi
isyarat lalu lintas; Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 2 (dua) bulan
atau denda Paling Banyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) =
melanggar aturan gerakan lalu lintas atau tata cara berhenti dan parkir;
Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 1 (satu) bulan atau denda Paling
Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = melanggar
ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi kendaraan bermotor
yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar; Sanksi Pidana
Kurungan Paling Lama 1 (satu) bulan
atau dendan Paling Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) = melanggar batas kecepatan paling tinggi atau
paling rendah ; Pidana Kurungan Paling Lama 2 (dua) bulan atau denda
Paling Banyak Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 288 = tidak dapat menunjukan STNK atau STCKB ; Sanksi Pidana
Kurungan Paling Lama 2 (dua) bulan atau denda Paling Banyak Rp.
500.000,- (lima ratus ribu rupiah) = tidak dapat menunjukan Surat Izin
Mengemudi (SIM) ; Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 1 (satu) bulan
dan/atau denda Paling Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu
rupiah)
Pasal 291 = tidak menggunakan helm SNI ; Sanksi Pidana Kurungan Paling
Lama 1 (satu) bulan atau denda Paling Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus
lima puluh ribu rupiah) = membiarkan penumpang tidak menggunakan helm;
Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 1 (satu) bulan atau denda Paling
Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
Pasal 293 = tidak menyalakan lampu pada malam hari dan kondisi tertentu;
Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 1 (satu) bulan atau denda Paling
Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) = tidak
menyalakan lampu pada siang hari; Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 15
(lima belas) hari atau denda Paling Banyak Rp. 100.000,- (seratur ribu
rupiah)
Pasal 294 = berbelok atau berbalik arah tanpa memberikan isyarat dengan
lampu penunjuk arah atu isyarat tangan; Sanksi Pidana Kurungan Paling
Lama 1 (satu) bulan atau denda Paling Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus
lima puluh ribu rupiah)
Pasal 295 = berpindah lajur atau bergerak ke samping tanpa memberikan
siyarat ; Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 1 (satu) bulan atau denda
Paling Banyak Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah)
Pasal 296 = tidak berhenti pada perlintasan antara kereta api dan jalan
ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai
ditutup dan/atau isyarat lain ; Sanksi Pidana Kurungan Paling Lama 3
(tiga) bulan atau denga Paling Banyak Rp. 750.000,- (tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah)
Pasal 310
ayat (1) = karena kelalaian mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan
kerusakan kendaraan dan/atau barang ; Sanksi Pidana Penjara Paling Lama 6
(enam) bulan dan/atau denda Paling Banyak Rp. 1.000.000,- (satu juta
rupiah)
atat (2) = karena kelalaian mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan
korban luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang; Sanksi
Pidana Penajara Paling Lama 1 (satu) tahun dan/atau denda Paling Banyak
Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah)
ayat (3) = karena kelalaian mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan
korban luka berat ; Sanksi Pidana Penjara Paling Lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling Banyak Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) =
mengakibatkan orang lain meninggal dunia; Sanksi Pidana Penjara Paling
Lama 6 (enam) tahun dan/atau denda Paling Banyak Rp. 12.000.000,- (dua
belas juta rupiah).
Pasal 311 = dengan sengaja mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara
atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang; Sanksi Pidana
Penjara Paling Lama 1 (satu) tahun atau denda Paling Banyak Rp.
3.000.000,- (tiga juta rupiah) '= jika mengakibatkan kecelakaan lalu
lintas dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang; Sanksi Pidana Penjara
Paling Lama 2 (dua) tahun atau denda Paling Banyak Rp. 4.000.000,-
(empat juta rupiah) = jika mengakibatkan kecelakaan lalu lintas korban
luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang; Sanksi Pidana
Penjara Paling Lama 4 (empat) tahun atau denda paling Banyak Rp.
8.000.000,- (delapan juta rupiah) = jika korban luka berat ; Sanksi
Pidana Penjara Paling Lama 10 (sepuluh) tahun atau denda Paling Banyak
Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) = jika korban meninggal dunia;
Sanksi Pidana Penjara Paling Lama 12 (dua belas) tahun atau denda Paling
Banyak Rp. 24.000.000,- (dua puluh empat juta rupiah)
Ketentuan dan Denda Resmi Pelanggaran Lalu Lintas ("Tilang")
Apakah Anda melanggar rambu lalu lintas? Ketahuilah tarif denda resminya. walau selalu disiplin dalam berlalu-lintas, namun tetap sesekali mungkin lalai atau tidak sengaja melanggar aturan dan diberhentikan polisi yang bertugas. Berapakah denda resmi dari setiap pelanggaran yang dilakukan?
|
||
Prosedur Penilangan
Polisi yang memberhentikan pelanggar wajib menyapa dengan sopan serta menunjukan jati diri dengan jelas. Polisi harus menerangkan dengan jelas kepada pelanggar apa kesalahan yang terjadi, pasal berapa yang telah dilanggar dan tabel berisi jumlah denda yang harus dibayar oleh pelanggar.
Pelanggar dapat memilih untuk menerima kesalahan dan memilih untuk menerima slip biru,
kemudian membayar denda di BRI tempat kejadian dan mengambil dokumen
yang ditahan di Polsek tempat kejadian, atau menolak kesalahan yang
didakwakan dan meminta sidang pengadilan serta menerima slip merah.
Pengadilan kemudian yang akan memutuskan apakah pelanggar bersalah
atau tidak, dengan mendengarkan keterangan dari polisi bersangkutan
dan pelanggar dalam persidangan di kehakiman setempat, pada waktu yang
telah ditentukan (biasanya 5 sampai 10 hari kerja dari tanggal
pelanggaran).
|
||
Menyuap Polisi Ada sebagian pelanggar peraturan memilih untuk menyuap polisi dengan uang berlipat-lipat dari denda yang akan dijatuhkan karena adanya anggapan bahwa mengurus tilang itu sangatlah sulit. Ada pula kalanya polisilah yang meminta uang kepada pelanggar agar pelanggar bisa segera pergi dari lokasi pelanggaran tanpa mengikuti prosedur hukum. Bila penyuapan ini terbukti maka bisa membuat polisi dan penyuap dihukum penjara karena menyuap polisi/pegawai negeri adalah sebuah perbuatan melanggar hukum. |
||
Informasi Lengkap Sanksi pelanggaran lalu lintas di jalan raya semakin berat. Dalam undang-undang tentang lalu lintas yang terbaru, sanksi denda atau tilang naik sekitar 10 kali lipat dengan kisaran Rp 250 ribu hingga Rp 1 juta. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang disahkan DPR pada 22 Juni 2009. Berikut daftar tilang untuk kendaraan bermotor terhadap pelanggaran lalu lintas : |
||
1. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 1 juta (Pasal 281).
2. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang memiliki SIM namun tak dapat menunjukkannya saat razia dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 288 ayat 2).
3. Setiap pengendara kendaraan bermotor yang tak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 280).
4. Setiap pengendara sepeda motor yang
tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan seperti spion, lampu
utama, lampu rem, klakson, pengukur kecepatan, dan knalpot dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 285 ayat 1).
5. Setiap pengendara mobil yang
tidak memenuhi persyaratan teknis seperti spion, klakson, lampu utama,
lampu mundur, lampu rem, kaca depan, bumper, penghapus kaca dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 285 ayat 2).
6. Setiap pengendara mobil yang tidak
dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga
pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama
pada kecelakaan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 278).
7. Setiap pengendara yang melanggar rambu lalu lintas dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 287 ayat 1).
8. Setiap pengendara yang melanggar aturan batas kecepatan paling tinggi atau paling rendah dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 287 ayat 5).
9. Setiap pengendara yang tidak dilengkapi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 288 ayat 1).
10. Setiap pengemudi atau penumpang yang duduk disamping pengemudi mobil tak mengenakan sabuk keselamatan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 289).
11. Setiap pengendara atau penumpang sepeda motor yang tak mengenakan helm standar nasional dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 291 ayat 1).
12. Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (Pasal 293 ayat 1)
13. Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah). (Pasal 293 ayat 2)
14. Setiap pengendara sepeda motor yang akan berbelok atau balik arah tanpa memberi isyarat lampu dipidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu (Pasal 294).
|
||
Selalu patuhi rambu lalu lintas. Kebiasaan
mengabaikan itu bisa membahayakan keselamatan orang lain.
Mempraktikkan tertib lalu lintas bukan sekadar mencerminkan
kepribadian diri sendiri, tapi juga menekan kecelakaan lalu lintas.
Makin sering langgar lalu lintas, makin sering
pula uang anda melayang untuk membayar denda. Tapi yang paling fatal
dari keseringan melanggar adalah kemungkinan besar jadi korban
kecelakaan. Cintai diri anda sendiri dan keluarga yang menanti anda
pulang dengan selamat.
|
PENEBANGAN LIAR (illegal logging)
a.
Faktor
– faktor penyebab penebangan liar (illegal
logging)
Praktek
penebangan liar (illegal logging)
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu : (1) penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh
pihak – pihak yang tidak mempunyai izin yang kebanyakan dilakukan oleh
masyarakat kecil yang kemudian hasilnya dijual kepada penadah hutan, dan (2)
penebangan liar (illegal logging) yang
dilakukan oleh pihak – pihak yang mempunyai izin namun dalam melakukan kegiatan
usahanya itu cenderung merusak hutan seperti melakukan penebangan di luar
konsesinya (over cuting), melanggar
persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam konsensinya, kolusi dengan
penjabat atau aparat, pemalsuan dokumen dan manipulasi kebijakan.
Menurut
Haba, bahwa pandangan tentang faktor penyebab terjadinya penebangan liar (illegal logging) ini pun bervariasi
tergantung pendekatan yang digunakan masing – masing pihak, Penebangan liar (illegal logging) berkaitan dengan
meningkatnya kebutuhan kayu di Pasar Internasional, besarnya kapasitas
terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakkan
hukum, tumpang tindih regulasi dan pemutihan kayu yang terjadi di luar daerah
tebangan.
Dari
pandangan yang dikemukakan oleh Haba tersebut, nampak persamaan yang selalu ada
dalam setiap pandangan para ahli lainnya yaitu memandang bahwa kasus penebangan
liar (illegal logging) merupakan
suatu proses dalam kegiatan ekonomi sehingga faktor ekonomi sebagai faktor
utama yang menjadi penyebab dari penebangan liar (illegal logging).
Faktor
– faktor terjadinya penebangan liar (illegal
logging) antara lain :[1]
a. Faktor
– faktor yang berkaitan dengan nilai – nilai masyarakat dan situasi penduduk di
desa – desa dekat hutan dipengaruhi unsur – unsur :
1. Kebutuhan
lapangan kerja dan pendapatan
2. Pengaruh
tenaga kerja lain yang sudah bekerja secara illegal
3. Ketidakpuasaan
lokal atas kebijakan kehutanan pusat
4. Dukungan
terhadap pengelolaan hutan lestari
b. Faktor
– faktor ekonomi yang suplai dan permintaan normal berkaitan dengan industri
penebangan kayu dipengaruhi oleh unsur – unsur :
1. Kebutuhan
kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri dan permintaan kayu dari luar
negeri
2. Kemampuan
pasokan kayu dan kebijakan jatah kayu tebangan tinggi rendahnya laba dari
perusahaan industri kayu
3. Tinggi
rendahnya laba dari perusahaan industri kayu
c. Faktor
– faktor yang berkaitan dengan pengusaha dan pengaruhnya pada, serta kolusi
dengan, para politisi dan pemimpin setempat di pengaruhi oleh unsur – unsur
seperti :
1. Keuntungan
yang diperoleh oleh pengusaha kayu
2. Besarnya
pengaruh pengusaha kayu dan bos – bos penebangan tehadap penjabat lokal
3. Besarnya
partisipasi penjabat lokal dalam kegiatan penebangan (illegal logging)
4. Banyaknya
kerja sama illegal yang dilakukan oleh pengusaha dengan penguasa atau penjabat lokal
b.
Pemidanaan
terhadap Pelaku Tindak Pidana Penebangan Liar (Illegal Logging) menurut UU No. 41 / 1999 Tentang Kehutanan
1)
Ketentuan
– ketentuan pidana menurut UU No. 41 / 1999 Tentang Kehutanan
Ketentuan
pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.
41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka
mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian
sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang
kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di
bidang kehutanan (penjelasan umum paragraph ke – 18 UU No. 41 / 1999). Efek
jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana
kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang
kehutanan menjadi berpikir kembali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum
karena sanksi pidannya berat.
Ada
3 (tiga) jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999 yaitu pidana
penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk
melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada
pelaku secara kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat di lihat dalam rumusan
sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41 / 1999. Jenis pidana itu
merupakan sanksi yang diberikan kepada pelaku yang melakukan kejahatan
sebagaimana yang di atur dalam Pasa 50 UU No. 41 / 1999 tentang Kehutanan.
Ketentuan
pada Pasal 50 menyatakan bahwa, “Setiap orang dilarang merusak prasarana dan
sarana perlindungan hutan (ayat (1)) dan Setiap orang yang diberikan izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan (ayat (2))”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (1)
menyatakan bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah)”.
Penjelasan
Pasal 50 ayat (1) yang di maksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang
pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan misalnya
pagar – pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan
pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda
larangan, dan alat angkut. Sedangkan penjelasan pada Pasal 50 ayat (2) yang di
maksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik atau hayatinya
yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai
dengan fungsinya.
Ketentuan pada Pasal 50 ayat (3) huruf c menyatakan
bahwa, “Setiap orang di larang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
dengan radius atau jarak sampai
dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk
atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air
dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi
sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan
tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi
jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih
pasang tertinggi dan pasang terendah dari
tepi pantai.
Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
5.000.000.000,. (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat (1), (2) dan ayat (3))
tersebut jika dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi
pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya sesuai dengan ancaman pidana masing –
masing di tambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 78
ayat(4)). Yang dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam pasal
tersebut antara lain Perseroan Terbatas (PT), perseroan komanditer (commanditer vennotschaap - CV), firma,
koperasi, dan sejenisnya (penjelasan Pasal 78 ayat (14)).
Ketentuan
pada Pasal 50 ayat (3) huruf e menyatakan bahwa, “Setiap orang di larang untuk menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak
atau izin dari pejabat yang berwenang”.
Ketentuan
pada Pasal 50 ayat (3) huruf f ymenyatakan
bahwa, “menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,
menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal
dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (5) menyatakan
bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf e, yang
di maksud dengan penjabat yang berwenang adalah penjabat pusat dan
daerah yang diberi wewenang oleh undang – undang untuk memberi izin, sedangkan
penjelasan pada Pasal 50 ayat (3) huruf f, cukup jelas. Pelanggaran pada
ketentuan Pasal 50 ayat (3)
huruf e dan f, di ancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,. (lima miliar rupiah) (Pasal 78 ayat
(4)).
Pada
ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h menyatakan
bahwa, “mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi
bersama - sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (7) menyatakan
bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf h yang
dimaksud dengan “dilengkapi bersama – sama” adalah bahwa setiap pengangkutan,
penguasaan, atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus
disertai dan dilengkapi surat – surat yang sah sebagai bukti. Apabila ada
perbedaan antara isi keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan
keadaan isi keterangan dokumen sahnya hasil hutan tersebut dengan keadaan fisik
baik jenis, jumlah, maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan
tidak mempunyai surat – surat sah sebagai bukti.
Ketentuan
Pasal 50 ayat (3) huruf j menyatakan bahwa, “membawa alat-alat berat dan atau alat-alat
lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil
hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (9) menyatakan
bahwa, “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50
ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima
milyar rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf j yang
di maksud dengan alat – alat berat untuk mengangkut, antara lain berupa
traktor, bulldozer, truck trailer, crane, tongkang, perahu klotok, helicopter,
jeep, tugboat, dan kapal.
Pada
ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf k menyatakan
bahwa,”membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah
pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (10)
menyatakan bahwa,”Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat
(3) huruf k, tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa
alat – alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai
dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.
Ketentuan pada Pasal 78 ayat (15) menyatakan
bahwa,
“Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan
pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk
melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
dirampas untuk Negara”.
Dalam penjelasannya disebutkan benda yang
termasuk alat –alat angkut antara lain kapal, tongkang, truk, trailer, pontoon,
tugboat, perahu layar, helicopter, dan lain – lain.
Berdasarkan uraian tentang rumusan
ketentuan pidana dan sanksinya yang di atur oleh UU No. 41 / 1999 tersebut di
atas, maka dapat ditemukan unsur – unsur yang dapat dijadikan dasar hukum
penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penebangan liar (illegal logging) yaitu :
1.
Merusak prasarana dan sarana
perlindungan hukum
2.
Kegiatan yang keluar dari ketentuan –
ketentuan perizinan sehingga merusak hutan
3.
Melanggar batas – batas tepi sungai,
jurang dan pantai yang ditentukan undang – undang
4.
Menebang pohon tanpa izin
5.
Menerima, membeli, atau menjual,
menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang
diketahui atau patut di duga sebagai hasil hutan illegal
6.
Mengangkut, menguasai atau memiliki
hasil hutan tanpa SKSHH
7.
Membawa alat – alat berat dan alat –
alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
[1] Sukardi, Illegal Logging Dalam Perspektif Politik Hukum Pidana (Kasus
Papua), (Yogyakarta : Penerbitan Universitas Atma Jaya, 2005), halaman 81 – 91.
ANCAMAN HUKUMAN BAGI BANDAR DAN PENGEDAR NARKOBA
Narkoba telah menjadi permasalahan yang sangat serius diberbagai negara
diseluruh dunia tak terkecuali di Indonesia,mungkin kita sudah sering
mengetahui dari berbagai media informasi telah sering dilakukan
penangkapan terhadap pengedar narkoba baik itu melalui media
elektronik,koran maupun kita lihat sendiri.sebenarnya ancaman hukuman
penjara bagi pengedar narkoba sangat berat di Indonesia,tetapi mengapa
para pengedar tersebut tidak merasa takut?dan bahkan warga negara asing
sudah banyak yang ditangkap polisi karena berani membawa narkoba ke
indonesia.ancaman hukuman pengedar narkoba di indonesia paling singkat 4
tahun dan maksimal hukuman mati.selain pemerintah yang konsisten selalu
siap melaksanakan pemberantasan narkoba,alangkah baiknya kita juga
mengetahui hukuman yang berlaku bagi pengedar narkoba tersebut yang
tercantum dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
MENANAM,MEMELIHARA,MEMILIKI,MENYIMPAN,MENGUASAI ATAU MENYEDIAKAN NARKOTIKA GOLONGAN I DALAM BENTUK TANAMAN ( contoh:ganja)
- Pasal 111 (1) :Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,memelihara,memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
- Pasal 111 (2) : Dalam hal perbuatan menanam,memelihara,menyimpan,menguasai,atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon ,pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3
MEMILIKI,MENYIMPAN,MENGUASAI, ATAU MENYEDIAKAN NARKOTIKA BUKAN TANAMAN(contoh:sabu,ekstacy)
- Pasal 112 ayat(1): Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika bukan tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah
- Pasal 117 ayat (1) : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah.
- Pasal 122 ayat (1): setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah
MEMILIKI,MENYIMPAN,MENGUASAI ATAU MENYEDIAKAN NARKOTIKA BUKAN TANAMAN LEBIH DARI 5 GRAM
- Pasal 112 ayat (2) : Dalam hal perbuatan memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun, dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3
- Pasal 117 ayat(2) : Dalam hal perbuatan memiliki,menyimpan ,menguasai atau menyediakan narkotika golongan II yang beratnya melebihi 5 gram ,pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3
- Pasal 122 ayat(2) :Dalam hal perbuatan memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika golongan III beratnya melebihi 5 gram ,pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana dengan paling banyak Rp 3 miliar ditambah 1/3
MEMPRODUKSI,MENGIMPOR,MENGEKSPOR ATAU MENYALURKAN NARKOTIKA
- Pasal 113 ayat(1) :Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,mengimpor,mengekspor,atau menyalurkan narkotika golongan I dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar rupiah.
- Pasal 118 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,mengimpor,mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah
- Pasal 123 ayat(1):Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,mengimpor,mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah
MEMPRODUKSI,MENGIMPOR,MENGEKSPOR,ATAU MENYALURKAN NARKOTIKA DALAM BENTUK
TANAMAN LEBIH DARI 1 KILOGRAM/5 BATANG POHON ATAU BUKAN TANAMAN LEBIH
DARI 5 GRAM
- Pasal 113 AYAT (2) : Dalam hal perbuatan memproduksi,mengimpor,mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya lebih dari 1 kilogram atau 5 batang pohon, atau dalam bentuk bukan tanaman berat lebih dari 5 gram pelaku dipidana mati,penjara seumur hidup,paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun,dan denda maksimum 10 miliar ditambah 1/3
- Pasal 118 ayat(2): Dalam hal perbuatan memproduksi,mengimpor,mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat(1) beratnya lebih dari 5 gram ,pelaku dipidana mati,penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun, dan denda paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3
- Pasal 123 ayat(2) : dalam hal perbuatan memproduksi,mengimpor,mengekspor,atau menyalurkan narkotika golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat(1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3
MENAWARKAN UNTUK DIJUAL,MENJUAL,MEMBELI,MENERIMA,MENJADI PERANTARA DALAM JUAL BELI, ATAU MENYERAHKAN
- Pasal 114 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli,menukar atau menyerahkan narkotika golongan I ,pelaku dipidana penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar rupiah.
- Pasal 119 ayat(1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli,menukar atau menyerahkan narkotika golongan II,pelaku dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
- Pasal 124 ayat (1) :Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan III pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah.
MENAWARKAN UNTUK DIJUAL,MENJUAL,MEMBELI,MENERIMA,MENJADI PERANTARA DALAM JUAL BELI ATAU MENYERAHKAN
- Pasal 114 ayat (2) : dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat(1) yang dalam bentuk tanaman beratnya lebih dari 1 kilogram atau 5 batang pohon,atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana mati,penjara seumur hidup,paling singkat 6 tahun,paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar ditambah 1/3
- Pasal 119 ayat (2) : Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram dipidana mati,penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun, dan denda paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3
- Pasal 124 ayat(2) :dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar ditambah 1/3
MEMBAWA,MENGIRIM,MENGANGKUT ATAU MENTRANSITO
- Pasal 115 ayat (1) : setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan I dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
- Pasal 120 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 3 tahun,paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah
- Pasal 125 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 2 tahun ,paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah.
MEMBAWA,MENGIRIM,MENGANGKUT ATAU MENTRANSITO NARKOTIKA GOLONGAN I DALAM
BENTUK TANAMAN LEBIH DARI 1 KILOGRAM ATAU 5 BATANG POHON ATAU DALAM
BENTUK BUKAN TANAMAN BERATNYA LEBIH DARI 5 GRAM
- Pasal 115 ayat(2): dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut,atau menransito narkotika golongan I sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) beratnya lebih dari 1 kilogram atau lebih dari 5 batang pohon dan dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3
- Pasal 120 ayat(2) : dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan II sebagaimana pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3
- Pasal 125 ayat (2): dalam hal perbuatan membawa,mengirim,mengangkut atau mentransito narkotika golongan III sebagimana pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram ,pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun ,paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar rupiah ditambah 1/3
MENGGUNAKAN NARKOTIKA TERHADAP ATAU DIBERIKAN UNTUK ORANG LAIN
- Pasal 116 ayat(1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling singkat 5 tahun ,paling lama 15 tahun, pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak rp 10 miliar rupiah
- Pasal 121 ayat(1) setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan denda Paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 Miliar rupiah.
MENGGUNAKAN NARKOTIKA TERHADAP ATAU DIBERIKAN UNTUK ORANG LAIN YANG MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MATI ATAU CACAT PERMANEN
- Pasal 116 ayat (2) :Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan I untuk orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat I mengakibatkan mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen pelaku dipidana mati atau penjara seumur hidup ,paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun,denda paling banyak Rp 10 miliar rupiah ditambah 1/3
UU No 51 Prp 1960
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 51 TAHUN 1960
TENTANG
LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA
NOMOR 51 TAHUN 1960
TENTANG
LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.bahwa oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat berdasarkan Undang-undang No. 74/1957 tentang "Keadaan Bahaya" (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 16) telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/011/1958 tentang "Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya", yang kemudian ditambah dan diubah dengan Peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/041/1959;
b.bahwa berhubung dengan ketentuan dalam pasal 61 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 tentang "Keadaan Bahaya" (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139) jo. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1960 (Lembaran-Negara tahun 1960 No. 66) waktu berlakunya Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut akan berakhir pada tanggal 16 Desember 1960;
c.bahwa dewasa ini perlindungan tanah-tanah terhadap pemakaian tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah masih perlu dilangsungkan, lagi pula kepada penguasa-penguasa yang bersangkutan masih perlu diberikan dasar hukum bagi tindakan-tindakannya untuk menyelesaikan pemakaian tanah demikian itu;
d.bahwa ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi "Onrechtmatige occupatie van gronden" (Staatsblad 1948 No. 110) dan Undang-undang Darurat No. 8/1951, (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 65) serta Undang-undang Darurat No. 1/1956 (Lembaran Negara tahun 1956 No. 45) karena berbagai pertimbangan tidak dapat dipakai lagi;
e.bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut diatas dan mengingat sifat masalahnya sebaiknya soal-termaksud sekarang diatur dalam bentuk peraturan perundang-undangan biasa;
f.bahwa karena keadaan yang memaksa soal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;
Mengingat :
a.pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar;
b.Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5 tahun 1960;
Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 13 Desember 1960;
Memutuskan :
Dengan mencabut :
a.Ordonansi "Onrechtmatige occupatie van gronden" (Staatsblaad 1948 No. 110);
b.Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No. 65);
c.Undang-undang Darurat No. 1 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 1956 No. 45);
Menetapkan :
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang "Larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya".
Pasal 1.
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan
1.tanah ialah :
a.tanah yang langsung dikuasai oleh Negara;
b.tanah yang tidak termasuk huruf a yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh perseorangan atau badan hukum.
2.yang berhak : ialah jika mengenai tanah yang termaksud dalam: 1/a. Negara dalam hal ini Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya; 1/b. orang atau badan hukum yang berhak atas tanah itu,
3.memakai tanah : ialah menduduki, mengerjakan dan/atau mengenai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan diatasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak.
4.Penguasa Daerah ialah :
a.untuk daerah-daerah yang tidak berada dalam keadaan bahaya seperti yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139): "Bupati atau Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan, sedang untuk Daerah Tingkat I Jakarta Raya : Gubernur/Kepala Daerah Jakarta Raya";
b.untuk daerah-daerah yang berada dalam keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil, darurat militer atau keadaan perang, masing-masing Penguasa Darurat Sipil Daerah, Penguasa Darurat Militer Daerah atau Penguasa Perang Daerah yang bersangkutan, seperti yang dimaksudkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139)
Pasal 2
Dilarang memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah.
Pasal 3
(1) Penguasa Daerah dapat mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan
pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan tanpa izin yang berhak
atau kuasanya yang sah, yang ada didaerahnya masing-masing pada suatu waktu.
(2) Penyelesaian tersebut pada ayat (1) pasal ini diadakan dengan memperhatikan
rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah sebagai yang dimaksudkan dalam
pasal 3, maka Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk
mengosongkan tanah yang bersangkutan dengan segala barang dan orang yang
menerima hak dari padanya.
(2) Jika setelah berlakunya tenggang waktu yang ditentukan didalam perintah
pengosongan tersebut pada ayat (1) pasal ini perintah itu belum dipenuhi oleh
yang bersangkutan, maka Penguasa Daerah atau pejabat yang diberi perintah
olehnya melaksanakan pengosongan itu atas biaya pemakai tanah itu sendiri.
Pasal 5.
(1) Pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan yang menurut Undang-undang
Darurat No. 8 tahun 1954 (Lembaran-Negara 1954 No. 65) jo. Undang-undang
Darurat No. 1 tahun 1956 (Lembaran-Negara tahun 195 6 No. 45) harus
diselesaikan, dan yang pada tanggal mulai berlakunya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang ini belum diselesaikan menurut ketentuan-ketentuan
dalam Undang-undang Darurat tersebut, selanjutnya akan diselesaikan menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar
Menteri Pertanian.
(2) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat (1) pasal ini, maka
Menteri Agraria dengan mendengar Menteri Pertanian, dapat pula mengambil
tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah-tanah perkebunan dan
hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang dimulai sejak tanggal
12 Juni 1954.
(3) Didalam rangka menyelesaikan pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan itu
Menteri Agraria dan instansi yang ditunjuknya mempunyai wewenang pula sebagai
yang dimaksud dalam pasal 4.
(4) Didalam menggunakan wewenangnya sebagai yang dimaksud dalam pasal ini, maka
mengenai penyelesaian pemakaian tanah-tanah perkebunan Menteri Agraria harus
memperhatikan kepentingan rakyat-pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan
penduduk lainnya didaerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas tanah yang
diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya, dengan ketentuan,
bahwa terlebih dahulu harus diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan
musyawarah dengan fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 6.
(1) Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal-pasal 3, 4 dan 5,
maka dapat dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
dan/atau denda sebanyak- banyaknya Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah):
a. barangsiapa memakai tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah,
dengan ketentuan,bahwa jika mengenai tanah-tanah perkebunan dan hutan
dikecualikan mereka yang akan diselesaikan menurut pasal 5 ayat (1);
b. barangsiapa mengganggu yang berhak atau kuasanya yang sah didalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah;
c. barangsiapa menyuruh,mengajak,membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini;
d. barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan tersebut pada pasal 2 atau huruf b dari ayat (1) pasal ini.
(2) Ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian yang diadakan oleh Menteri Agraria
dan Pengusaha Daerah sebagai yang dimaksud dalam pasal-pasal 3 dan 5 dapat
memuat ancaman pidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,-(lima ribu rupiah) terhadap siapa
yang melanggar atau tidak memenuhinya.
(3) Tindak pidana tersebut dalam pasal ini adalah pelanggaran.
Pasal 7.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 16
Desember 1960.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 Desember 1960.
Presiden Republik Indonesia,
SOEKARNO
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 14 Desember 1960. Pejabat Sekretaris Negara,
SANTOSO.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1960 NOMOR 158
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 51 TAHUN 1960
TENTANG
LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
NOMOR 51 TAHUN 1960
TENTANG
LARANGAN PEMAKAIAN TANAH TANPA IZIN YANG BERHAK ATAU KUASANYA
1. Dengan ini banyak sekali tanah-tanah, baik yang ada didalam maupun diluar
kota-kota besar, dipakai oleh orang-orang tanpa izin dari penguasa yang
berwajib atau yang berhak. Pemakaian tanah tersebut meliputi pula tanah-tanah
perkebunan.
Pemerintah pada umumnya dapat memahami keadaan yang tidak sewajarnya itu, yang disebabkan karena sangat kurangnya persediaan tanah bagi rakyat, baik untuk perumahan maupun untuk bercocok tanam.
Pemerintah pada umumnya dapat memahami keadaan yang tidak sewajarnya itu, yang disebabkan karena sangat kurangnya persediaan tanah bagi rakyat, baik untuk perumahan maupun untuk bercocok tanam.
2. Dalam pada itu untuk pembangunan Negara, penggunaan tanah haruslah
dilakukan dengan cara yang teratur. Pemakaian tanah secara tidak teratur,
lebih-lebih yang melanggar norma-norma hukum dan tata-tertib, sebagaimana
terjadi dibanyak tempat, benar-benar menghambat, bahkan seringkali sama sekali
tidak memungkinkan lagi dilaksanakannya rencana pembangunan dipelbagai
lapangan. Pembuatan bangunan-bangunan didalam kota untuk tempat tinggal,
berjualan dan lain sebagainya yang berjejal-jejal dan tidak teratur letak dan
tempatnya, dari bahan-bahan yang mudah terbakar, tidak saja menambah besarnya
kemungkinan kebakaran, tetapi dipandang dari sudut kesehatan dan tata-tertib
keamanan sungguh tidak dapat dipertanggung-jawabkan. Belum lagi diperhitungkan
berapa kerugian yang diderita Negara dan masyarakat, misalnya dari
tindakan-tindakan yang berupa perusakan tanah-tanah perkebunan, yang merupakan
salah satu cabang produksi yang penting bagi perekonomian Negara dewasa ini,
pun telah sama-sama kita maklumi pula.
Demikianlah maka bagaimanapun juga pemakaian tanah-tanah secara demikian itu, sunguhpun dapat dipahami sebab-musababnya tetapi tidaklah dapat dibenarkan, dan karena itu harus dilarang.
Demikianlah maka bagaimanapun juga pemakaian tanah-tanah secara demikian itu, sunguhpun dapat dipahami sebab-musababnya tetapi tidaklah dapat dibenarkan, dan karena itu harus dilarang.
3. Berhubung dengan itu maka oleh Penguasa Militer/Kepala Staf Angkatan Darat
telah dikeluarkan Peraturan Penguasa Militer/Kepala Staf Angkatan Darat No.
Prt/PM/014/1957 tentang "Larangan pemakaian tanah tanpa izin pemiliknya atau
kuasanya", yang didasarkan atas "Regeling op de staat van oorlog en beleg"
(Staatsblad 1939 No. 582). Berhubung dengan berlakunya Undang-undang No. 74
tahun 1957 (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 160) tentang "Keadaan Bahaya"
Peraturan tersebut diganti dengan Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku
Penguasa Perang Pusat untuk daerah Angkatan Darat No. Prt/Peperpu/011/1958.
Peraturan ini kemudian ditambah dan diubah dengan Peraturan Penguasa Perang
Pusat No. Prt/041/1959 hingga meliputi pula tanah-tanah perkebunan.
Kini Undang-undang No. 74 tahun 1957 tersebut telah diganti pula dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 tentang "Keadaan Bahaya" (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139). Berhubung dengan itu maka Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/011/1958 dan Prt/Peperpu/041/1959 itu waktu berlakunya akan berakhir pada tanggal 16 Desember 1960 berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1960.
Kini Undang-undang No. 74 tahun 1957 tersebut telah diganti pula dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1959 tentang "Keadaan Bahaya" (Lembaran-Negara tahun 1959 No. 139). Berhubung dengan itu maka Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat No. Prt/Peperpu/011/1958 dan Prt/Peperpu/041/1959 itu waktu berlakunya akan berakhir pada tanggal 16 Desember 1960 berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1960.
4. Dengan tidak berlakunya lagi Peraturan-peraturan Penguasa Perang Pusat
tersebut maka berlakulah kembali Ordonansi "Onrechtmatige occupatie van
gronden" (Staatsblad 1948 No. 110) dan Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954
(Lembaran-Negara tahun 1956 No. 45) tentang "Penyelesaian soal pemakaian tanah
perkebunan oleh Rakyat". Tetapi ordonansi tersebut dalam Staatsblad 1948 No.
110 itu karena keberatan-keberatan tehnis, kini tidak dapat dilaksanakan.
Demikian pula atas dasar keberatan-keberatan praktis kedua Undang-undang
Darurat tersebut perlu diganti.
Berhubung dengan itu oleh karena perlindungan tanah-tanah terhadap pemakaian yang tidak teratur dan melawan hukum itu dewasa ini masih perlu dilangsungkan, lagi pula kepada penguasa-penguasa yang bersangkutan masih perlu diberikan dasar-dasar hukum bagi tindakant-tindakannya untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang demikian itu, perlu diadakan peraturan baru yang dapat dilaksanakan secara yang lebih effektif.
Mengingat masaalahnya yang tidak bersifat "sementara", maka dipandang lebih baik jika peraturan itu tidak dikeluarkan lagi *10836 dalam bentuk peraturan yang didasarkan atas ketentuan Undang-undang Keadaan Baaya, melainkan dalam bentuk perundang-undangan biasa. Oleh karena keadaan mendesak maka peraturan yang dimaksud itu ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Berhubung dengan itu oleh karena perlindungan tanah-tanah terhadap pemakaian yang tidak teratur dan melawan hukum itu dewasa ini masih perlu dilangsungkan, lagi pula kepada penguasa-penguasa yang bersangkutan masih perlu diberikan dasar-dasar hukum bagi tindakant-tindakannya untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang demikian itu, perlu diadakan peraturan baru yang dapat dilaksanakan secara yang lebih effektif.
Mengingat masaalahnya yang tidak bersifat "sementara", maka dipandang lebih baik jika peraturan itu tidak dikeluarkan lagi *10836 dalam bentuk peraturan yang didasarkan atas ketentuan Undang-undang Keadaan Baaya, melainkan dalam bentuk perundang-undangan biasa. Oleh karena keadaan mendesak maka peraturan yang dimaksud itu ditetapkan sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
5. Pemerintah menginsyafi, bahwa pemecahan masalah pemakaian tanah secara tidak
sah itu memerlukan tindakan-tindakan dalam lapangan yang luas yang mempunyai
bermacam-macam aspek, yang tidak saja terbatas pada bidang agraria dan pidana,
melainkan juga mengenai lapangan-lapangan sosial, perindustrian, Pemerintah
memandang perlu mengambil tindakan untuk mencegah meluasnya perbuatan yang
dimaksudkan diatas dan mengeluarkan peraturan sebagai dasar hukumnya dalam
bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang ini.
6. Pertama-tama Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (disingkat : Perpu) ini menyatakan bahwa pemakaian tanah tanpa izin dari
yang berhak atau kuasanya yang sah dalah perbuatan yang dilarang dan diancam
pula dengan hukuman pidana (pasal 2 yo. pasal 6 ayat (1) huruf a).
Mengingat akan sifat perbuatannya maka yang dapat dipidana itu tidak saja
terbatas pada pemakaian-pemakaian tanah yang dimulai sesudah berlakunya Perpu
ini, tetapi juga pemakaian yang terjadi (dimulai) sebelumnya dan kini masih
tetap berlangsung.
Dalam pada itu tidaklah selalu harus dilakukan tuntutan pidana menurut pasal 6 tersebbut. Menteri Agraria dan Penguasa Daerah menurut pasal 3 dan pasal 5 dapat mengadakan penyelesaian secara lain, dengan mengingat kepentingan fihak-fihak yang bersangkutan, pula dengan mengingat rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang dipakai itu. Pemakaian tanah tanpa izin yang berhak tidak diperbolehkan. Tetapi juga tidak dibenarkan jika yang berhak itu memberikan tanahnya dalam keadaan terlantar. Bahkan menurut pasal-pasal 27, 34 dan 40 Undang-undang Pokok Agraria hak milik, hak-guna bangunan dan hak guna-usaha hapus jika tanahnya diperlantarkan.
Agar supaya untuk memperoleh penyelesaian dapat diselenggarakan secara yang effektif, maka jika dipandang perlu Menteri Agraria dan Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan [pasal 4 dan pasal 5 ayat (3)]. Dengan demikian maka untuk mengadakan pengosongan tidaklah diperlukan perantaraan pengadilan. Sudah barang tentu jika memang perlu, selain perintah pengosongan dapat pula dilakukan tuntutan pidana.
Dengan demikian maka tindakan-tindakan untuk mengatasi dan menyelesaikan soal pemakaian tanah-tanah secara tidak sah itu dapat disesuaikan dengan keadaan tanah dan keperluannya, dengan mengingat faktor-faktor tempat, waktu, keadaan tanah dan kepentingan fihak-fihak yang bersangkutan.
Dalam pada itu tidaklah selalu harus dilakukan tuntutan pidana menurut pasal 6 tersebbut. Menteri Agraria dan Penguasa Daerah menurut pasal 3 dan pasal 5 dapat mengadakan penyelesaian secara lain, dengan mengingat kepentingan fihak-fihak yang bersangkutan, pula dengan mengingat rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang dipakai itu. Pemakaian tanah tanpa izin yang berhak tidak diperbolehkan. Tetapi juga tidak dibenarkan jika yang berhak itu memberikan tanahnya dalam keadaan terlantar. Bahkan menurut pasal-pasal 27, 34 dan 40 Undang-undang Pokok Agraria hak milik, hak-guna bangunan dan hak guna-usaha hapus jika tanahnya diperlantarkan.
Agar supaya untuk memperoleh penyelesaian dapat diselenggarakan secara yang effektif, maka jika dipandang perlu Menteri Agraria dan Penguasa Daerah dapat memerintahkan kepada yang memakainya untuk mengosongkan tanah yang bersangkutan [pasal 4 dan pasal 5 ayat (3)]. Dengan demikian maka untuk mengadakan pengosongan tidaklah diperlukan perantaraan pengadilan. Sudah barang tentu jika memang perlu, selain perintah pengosongan dapat pula dilakukan tuntutan pidana.
Dengan demikian maka tindakan-tindakan untuk mengatasi dan menyelesaikan soal pemakaian tanah-tanah secara tidak sah itu dapat disesuaikan dengan keadaan tanah dan keperluannya, dengan mengingat faktor-faktor tempat, waktu, keadaan tanah dan kepentingan fihak-fihak yang bersangkutan.
7. Mengingat bahwa dewasa ini Negara kita masih dalam keadaan bahaya dalam
berbagai tingkatan (keadaan perang, keadaan darurat militer dan keadaan darurat
sipil), maka selama keadaan bahaya itu masih berlangsung dipandang perlu untuk
mengikutsertakan Penguasa-penguasa Keadaan Bahaya Daerah dalam pelaksanaannya
(pasal 3 dan pasal 4).
Oleh karena pemakaian tanah-tanah yang dimaksudkan itu tidak sama disemua tempat maka titik-berat kebijaksanaan dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Penguasa-penguasa Daerah, hingga dapatlah diperhatikan segi-segi dan coraknya yang khusus, sesuai dengan keadaan setempat. *10837 Dalam pada itu mengingat akan faktor-faktor yang membedakan tanah-tanah perkebunan (dan hutan) dengan tanah-tanah lainnya maka khusus mengenai tanah-tanah perkebunan (dan hutan) itu dipandang perlu untuk memusatkannya pada Menteri Agraria (dan Menteri Pertanian), hingga terjamin garis kebijaksanaan yang seragam, terutama karena soal perkebunan itu kebanyakan tidaklah dapat hanya dilihat sebagai persoalan daerah-sedaerah semata-mata (pasal 5).
Sebagai dasar kebijaksanaan dalam menggunakan wewenang yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) maka ditetapkan dalam ayat (4), bahwa terlebih dahulu haruslah diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan musyawarah dengan fihak-fihak yang bersangkutan. Jika jalan musyawarah tidak membawa hasil maka Menteri Agrarialah (setelah mendengar Menteri Pertanian) yang akan menetapkan penyelesaiannya dengan memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan penduduk lainnya didaerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas tanah yang diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya.
Didalam pasal 5 diadakan perbedaan antara pemakaian tanah perkebunan dan hutan yang dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954 dan sebelumnya [ayat (2) dan ayat (1)]. Pemakaian tanah sebelum tanggal tersebut, yaitu tanggal mulai berlakunya Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954, harus diselesaikan, karena memang ditentukan demikian dalam Undang-undang Darurat tersebut. Biarpun pemakaian-pemakaian tanah sejak tanggal itu perlu diselesaikan pula, tetapi karena mulai tanggal tersebut sudah ada peraturan yang tegas melarang pemakaian tanah yang dimaksudkan itu, maka didalam usaha penyelesaiannya sudah sewajarnya jika diambil sikap yang lain terhadap para pemakai yang bersangkutan dari pada terhadap para pemakai sebelum tanggal 12 Juni 1954 itu. Terhadap para pemakai yang terakhir inipun tidak dapat dilakukan tuntutan pidana (pasal 6 ayat (1) huruf a).
Oleh karena pemakaian tanah-tanah yang dimaksudkan itu tidak sama disemua tempat maka titik-berat kebijaksanaan dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Penguasa-penguasa Daerah, hingga dapatlah diperhatikan segi-segi dan coraknya yang khusus, sesuai dengan keadaan setempat. *10837 Dalam pada itu mengingat akan faktor-faktor yang membedakan tanah-tanah perkebunan (dan hutan) dengan tanah-tanah lainnya maka khusus mengenai tanah-tanah perkebunan (dan hutan) itu dipandang perlu untuk memusatkannya pada Menteri Agraria (dan Menteri Pertanian), hingga terjamin garis kebijaksanaan yang seragam, terutama karena soal perkebunan itu kebanyakan tidaklah dapat hanya dilihat sebagai persoalan daerah-sedaerah semata-mata (pasal 5).
Sebagai dasar kebijaksanaan dalam menggunakan wewenang yang dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) maka ditetapkan dalam ayat (4), bahwa terlebih dahulu haruslah diusahakan tercapainya penyelesaian dengan jalan musyawarah dengan fihak-fihak yang bersangkutan. Jika jalan musyawarah tidak membawa hasil maka Menteri Agrarialah (setelah mendengar Menteri Pertanian) yang akan menetapkan penyelesaiannya dengan memperhatikan kepentingan rakyat pemakai tanah yang bersangkutan, kepentingan penduduk lainnya didaerah tempat letaknya perusahaan kebun dan luas tanah yang diperlukan perusahaan itu untuk menyelenggarakan usahanya.
Didalam pasal 5 diadakan perbedaan antara pemakaian tanah perkebunan dan hutan yang dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954 dan sebelumnya [ayat (2) dan ayat (1)]. Pemakaian tanah sebelum tanggal tersebut, yaitu tanggal mulai berlakunya Undang-undang Darurat No. 8 tahun 1954, harus diselesaikan, karena memang ditentukan demikian dalam Undang-undang Darurat tersebut. Biarpun pemakaian-pemakaian tanah sejak tanggal itu perlu diselesaikan pula, tetapi karena mulai tanggal tersebut sudah ada peraturan yang tegas melarang pemakaian tanah yang dimaksudkan itu, maka didalam usaha penyelesaiannya sudah sewajarnya jika diambil sikap yang lain terhadap para pemakai yang bersangkutan dari pada terhadap para pemakai sebelum tanggal 12 Juni 1954 itu. Terhadap para pemakai yang terakhir inipun tidak dapat dilakukan tuntutan pidana (pasal 6 ayat (1) huruf a).
8. Dengan adanya penjelasan tersebut diatas kiranya tidak perlu lagi diberikan
penjelasan pasal demi pasal.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2106
Langganan:
Postingan (Atom)